Walimatul Ursy Harus Bagaimana



 Secara umum dimasyarakat sekarang walimatul ursy adalah bentuk pesta jamuan makan yg disebabkan pernikahkan. Jika dilihat dari sudut pandang kebahasaan, walimah berasal dari kata الولم yang artinya “berkumpul”. Pemaknaan semacam ini bisa dipahami dari pertimbangan bahwa dalam walimah, kedua mempelai “berkumpul” dalam satu majelis. Sedangkan secara syariah, walimah didefinisikan sebagai perhelatan dalam rangka mensyukuri nikmat Allah atas terlaksananya akad nikah dengan menghidangkan makanan. Dengan demikian, diadakannya walimah dalam rangka mengumumkan kepada famili, teman, tetangga, dan khalayak luas bahwa akad nikah sudah terjadi sehingga semua pihak mengetahuinya dan tidak ada tuduhan miring di kemudian hari.

Hukum Walimah

Dikutip dari Syekh Muhammad bin Qasim dalam Fathul Qarib, halaman 236, hukum walimah adalah sebagai berikut: 

والوليمة على العُرس مستحبة] والمراد بها طعام يتخذ للعرس... وأقلها للمكثر شاةٌ، وللمقل ما تيسر] 

Artinya: Walimah pernikahan hukumnya disunahkan. Yang dimaksud dalam hal ini ialah jamuan makan ketika pernikahan. Paling sedikit hidangan bagi orang mampu ialah seekor kambing, dan bagi orang yang kurang mampu, hidangannya apa pun semampunya. 

Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum walimah. Ada yang mengatakan wajib dan ada yang sunnah. Menurut ulama Syafi’iyah sebagaimana dinyatakan oleh Imam Nawawi rahimahullah, hukum walimah adalah sunnah mustahab. Kata perintah dalam hadits ini dipahami sunnah (anjuran). Sebagian ulama menyatakan bahwa walimah itu diadakan sesudah dukhul (jima’ atau malam pertama) seperti pendapat Imam Malik dan selainnya. Sedangkan sekelompok ulama Malikiyah menyatakan bahwa walimah diadakan ketika akad itu berlangsung.

Kapan Dilaksanakan Walimah

Adapun waktu terbaik untuk melaksanakan walimah ialah pascaakad nikah. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi pernah melaksanakan akad nikah di pagi hari, dan mengadakan jamuan makan walimah di siang harinya. Hal ini dijelaskan dalam kitab Subulussalam Syarh Bulughul Maram:  

Seorang ulama madzhab Syafii, Al-Mawardi menegaskan bahwa walimah dilakukan setelah hubungan badan. As-Subki (ulama Syafiiyah lainnya) mengatakan: Mengaku pada praktik Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, walimah dilakukan setelah hubungan badan.’ Keterangan beliau mengisyaratkan kisah pernikahan Zainab binti Jahsy. Sebagaimana kata Anas bin Malik: Di pagi hari, setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menikahi Zainab, lalu beliau undang para sahabat.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan orang-orang yang mengadakan walimah agar tidak hanya mengundang orang-orang kaya saja, tetapi hendaknya diundang pula orang-orang miskin. Karena makanan yang dihidangkan untuk orang-orang kaya saja adalah sejelek-jelek hidangan. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ ويُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ، فَمَنْ لَمْ يَأْتِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ

“Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” (al-Bukhari (no. 5177), Muslim (no. 1432)

Siapa yang Melaksanakan Walimah

Asalnya, walimah (resepsi) pernikahan merupakan kewajiban suami. Karena dia yang diperintahkan. Sebagaimana riwayat Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada Abdurrahman bin Auf, 'Semoga Allah memberkahi engkau, laksanakanlah walimah walau dengan seekor kambing.". Juga hadits yang telah diriwayatkan oleh Buraidah bin al-Hashib, ia berkata:

لَمَّا خَطَبَ عَلِيٌّ فَاطِمَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّهُ لاَبُدَّ لِلْعَرْسِ مِنْ وَلِيْمَةٍ.

“Tatkala ‘Ali meminang Fatimah Radhiyallahu anhuma ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya merupakan keharusan bagi pengantin untuk menyelenggarakan walimah.’”(HR Ahmad)

Jika kita perhatikan hadis-hadis yang mensyariatkan adanya walimah, maka zahir hadis menunjukkan bahwa yang bertanggung jawab mengadakan walimah adalah mempelai pria bukan istrinya dan bukan pula wali sang istri. Hal tersebut sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap pernikahan istri-istri beliau dan juga perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf radhiallahu ‘anhu untuk mengadakan walimah atas pernikahannya dengan wanita Anshar. Ini menunjukkan bahwa, pada asalnya, pengadaan walimah adalah tanggung jawab suami. Sebagian ulama memberikan alasan sehingga tanggung jawab suami: karena sang suamilah yang berkewajiban menafkahi istri, dan kewajiban nafkah ini mencakup pelaksanaan pesta pernikahan keduanya. (Taudhihul Ahkam, 4:506)

Hukum Menghadiri Walimah

Setiap ada walimah, pasti mengundang khalayak luas. Tentang hukum menghadiri walimah adalah wajib bila diundang. Bila undangan disampaikan dalam bentuk massal seperti pemberitaan media yang ditujukan untuk siapa saja. Maka hukumnya tidak wajib. Kewajiban memenuhi walimah berdasarkan sabda yang bersumber dari Ibnu Umar dalam hadits Muttafaq 'Alaihi.

اذا نودى أحدكم إلى وليمة فليأ تها

Artinya: Nabi Muhammad SAW bersabda: Bila salah seseorang di antaramu diundang menghadiri walimah al-'ursy, hendaklah mendatanginya.

Dan apabila yang diundang memiliki alasan yang kuat atau karena perjalanan jauh sehingga menyulitkan atau sibuk, maka boleh baginya untuk tidak menghadiri undangan tersebut. (Al-Insyiraah fii Adaabin Nikaah). Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Atha’ bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu pernah diundang acara walimah, sementara dia sendiri sibuk membereskan urusan pengairan. Dia berkata kepada orang-orang, “Datangilah undangan saudara kalian, sampaikanlah salamku kepadanya dan kabarkanlah bahwa aku sedang sibuk” (Fat-hul Baari IX/247)

Walimah Yang terdapat Kemunkaran

Dalam Kitab Fathul Muin, Disyaratkan juga dalam menghadiri walimah tidak terjadi khalwah yang diharamkan. Adapun bila akan terjadi khalwah yang diharamkan, maka secara mutlak tidak boleh mendatangi acara wahmatul ursy. Demikian juga tidak boleh menghadiri -sekalipun tidak terjadi khalwah terus menerus jika khawatir terjadi fitnah (dengan adanya laki2 yg masuk ke jamuan wanita)

Adapun bila terjadi syubhat di sana, sebagaimana diketahw bahwa harta benda atau makanan walimah pengundang bercampur dengan barang haram, sekalipun sedikit, maka hukumnya tdak wajib menghadirinya, bahkan makruh bila sebagian besar hartanya itu haram. Bila diketahui bahwa makanan walimah itu haram, maka haram menghadiri undangannya, sekalipun ia tidak berkeinginan ikut makan.

Disyaratkan pula di tempat walimah tidak terdapat kemungkaran, di mana kehadirannya tidak dapat menghentikannya. Termasuk kemungkaran adalah tabir penutup terbuat dari sutera, alas lantai dari hasil menggasab dan ada orang yang membuat hadirin tertawa dengan cara yang keji dan dusta. Jikalau itu yang terjadi, maka haram menghadarinya.

Mengumumkan Pernikahan

Pertama, kita perlu membedakan antara mengumumkan pernikahan dengan walimah. Inti dari walimah adalah acara makan-makan untuk merayakan kebahagiaan setelah akad nikah. Sementara pengumuman bentuknya pemberitahuan kepada masyarakat akan adanya pernikahan. Dalam hadis dari Zubair bin Awam radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَعْلِنُوا النِّكَاحَ

“Umumkanlah nikah.” (HR. Ahmad 16130, Ibnu Hibban 4066 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Ulama berbeda pendapat mengenai batasan mengumumkan pernikahan.

Pertama, batasan mengumumkan pernikahan adalah menghadirkan saksi dalam pernikahan. Artinya, selama dalam pernikahan telah dihadirkan 2 saksi, maka sudah dianggap mengumumkan pernikahan. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Hanya saja, para ulama menekankan agar pernikahan tetap diramaikan. Tidak sebatas ada saksi, tapi infonya juag disebarkan ke masyarakat. Meskipun jika dirahasiakan menurut sebagian Ulama hukumnya makruh, sebagaimana dikutip dari Ibnu Qudamah mengatakan,

“Jika ada orang melakukan akad nikah, ada wali dan dua saksi, lalu mereka merahasiakannya atau sepakat untuk merahasiakannya, maka hukumnya makruh, meskipun nikahnya sah. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, as-Syafii, dan Ibnul Mundzir. Diantara sahabat yang membenci nikah siri adalah Umar radhiyallahu ‘anhu, Urwah, Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah, as-Sya’bi, dan Nafi. (al-Mughi, 7/428)

Kami sangat menekankan agar setiap pernikahan diumumkan. Minimal kepada tetangga dan masyarakat sekitar. Karena ini menyangkut masalah kehormatan. Ketika itu dirahasiakan, bisa jadi akan menimbulkan buruk sangka di tengah masyarakat karena dia berduaan dengan lawan jenis yang belum pernah mereka kenal.


***

0 Komentar