Malam Pertama

 

Dengan terpenuhinya rukun dan syarat pernikahan, ditandai dengan selesainya ijab kabul, maka sah-lah sebuah pernikahan. Dua orang yg sebelumnya bukan siapa-siapa maka dengan sahnya sebuah pernikahan mereka terikat dengan perjanjian besar dan menjadi suami-istri. Dalam pernikahan suami dan istri umumnya memulai dengan apa yg kita kenal dengan malam pertama, yg secara teknis sudah banyak sekali dibahas dari berbagai sudut pandang, baik ilmu kedokteran, sosial, hingga fiqh. Kita tidak akan panjang lebar membahas teknis malam pertama, tapi kita akan coba bahas konsekuensi dari pernikahan dan malam pertama tsb.

Pernikahan memindahkan tanggung jawab dari seorang bapak kepada seorang suami. Tanggung jawab perlindungan dan nafkah menjadi yg utama. "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (At-Tahrim: 6). Dan juga sebaliknya ketaatan yg utama kepada seorang bapak menjadi ketaatan yg utama kepada suami, dan tetap juga taat dan hormat kepada orang tua. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan ditashih oleh Al-Bazzar. Konon, Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, “Hak siapakah yang harus diutamakan oleh istri?” Rasulullah menjawab, “Hak suaminya.” Lalu, Aisyah kembali bertanya, “Sedangkan bagi suami, hak siapakah yang lebih utama?” Beliau menjawab, “Hak  ibunya.”. 

Meski demikian, kewajiban menaati suami bukan berarti harus memutus tali silaturahmi kepada orang tua atau mendurhakai mereka. Seorang suami dituntut mampu menjaga hubungan baik antara istri dan keluarganya. Ikhtiar itu kini—dengan kemajuan teknologi—bisa diupayakan sangat mudah. Menyambung komunikasi dan hubungan istri dengan keluarga bisa lewat telepon atau menggunakan transportasi yang lebih cepat sehingga jarak yang jauh tidak menghalangi silaturahmi.  

Malam pertama menjadikan suami memiliki kewajiban pembayaran mahar, “Jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka (bayarlah) separuh dari apa yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka atau pihak yang memiliki kewenangan nikah (suami atau wali) membebaskannya.” (QS Al-Baqarah : 237). “Jika suami telah menyerahkan mahar kepada istrinya, serta telah bergaul suami-istri, maka mahar itu hak istrinya dan si suami tak berhak menariknya sedikit pun. Demikian jika mahar belum diserahkan, maka mahar tetap menjadi hak si istri dan kewajiban suami. Selanjutnya, jika suami belum mencampuri istrinya, dan telah menyerahkan maharnya, maka ia boleh menarik separuh mahar dari istrinya. Jika mahar belum diserahkan sedikitpun, maka si istri yang berhak mendapatkan separuhnya.” (Lihat: asy-Syafi’i, al-Umm, jilid V, halaman 216). 

Meskipun dengan sahnya akad nikah maka hubungan mahram yg disebabkan pernikahkan sudah berlaku, tapi ada mahram yang baru berlaku setelah malam pertama dilakukan. Allah swt. Berfirman: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.’ (An-Nisa:22-23)

Dengan malam pertama juga maka keturunan yg dihasilkan akan diikatkan nasabnya dengan orang tuanya. Allah swt. Berfirman : “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan menasabkan kepada bapak-napak mereka. Hal itu lebih adil di sisi Allah. Maka apabila kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka panggillah mereka sebagai saudaramu dalam agama dan maula-maula kalian. Tidak ada dosa atas kalian di dalam apa yang tak kalian sengaja, akan tetapi berdosa apa yang disengaja oleh hati kalian. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab : 5). Rasulullah juga bersabda : Anak itu haknya (laki-laki) yang memiliki tempat tidur dan bagi yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut). (Hadits shahih riwayat Imam al-Bukhâri, no. 6749 dan Muslim , 4/171)

Dengan pernikahan maka kedua orang yg sebelumnya haram melihat aurat masing2 maka menjadi halal untung saling melihat, dan bisa jadi malah berpahala. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para Ulama bahwasanya seorang suami atau istri boleh melihat seluruh anggota tubuh pasangannya. Adapun  hal ini berdasarkan keumuman firman Allâh Azza wa Jalla : “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela.” [-Ma’ârij/70:29-30]. Dan hadits  Aisyah  Radhiyallahu anhuma, beliau Radhiyallahu anhuma berkata: “Aku mandi bersama dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana dalam keadaan junub. [HR. Al-Bukhâri, no. 263 dan Muslim, no. 43]. Mu’awiyah bin Haidah al-Qusyairy pernah bertanya kepada Rasulullah saw: “Ya Rasulullah, aurat kami manakah yang harus kami tutup dan manakah yang boleh kami buka?” Rasulullah saw bersabda: Tutuplah auratmu kecuali dari istrimu atau budak perempuanmu.” [HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan Abu Dawud].

Suami juga wajib memberikan nafkah untuk keluarganya secara ikhlas. Sebagai pemimpin rumah tangga, suami harus benar-benar serius memperhatikan sandang, pangan, dan papan bagi istri dan anak-anaknya. "Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu maka pahalanya lebih besar (dari amalan kebaikan yang disebutkan tadi)" (HR. Muslim nomor 995). Sedangkan dalam hadits lain, Nabi Muhammad SAW bersabda: "Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu." (HR. Bukhari nomor 56)

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7). “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 233). Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bapak dari si anak punya kewajiban dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi nafkah pada ibu si anak, termasuk pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan masyarakatnya tanpa bersikap berlebih-lebihan dan tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan hemat” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375). Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142)

Oleh karena itu, wajib bagi suami untuk mempelajari ilmu agama lebih dalam, dan mengajarkan serta mengajak istrinya untuk lebih mendekatkan diri kepada sang Khalik.

Wajib bagi suami untuk memahami tugasnya sebagai pemimpin rumah tangga yang harus mendidik istrinya seperti Rasulullah mendidik istri-istrinya dengan penuh kasih, kesabaran, dan pengertian. Wajib pula baginya untuk mendidik anak-anaknya agar kelak berakhlak mulia. Menjadi tentara tangguh Allah yang berjuang tak kenal lelah membela Agamanya. 

Seseorang tak akan menanggung dosa orang lain. Dosa suami hanyalah ketika ia tidak mendidik, mengingatkan dan memperingatkan istri. Apabila hal itu telah dilakukan, maka ketika istri tetap saja bermaksiat dan tidak mematuhi suaminya, maka dosa itu tetap ditanggung oleh si istri itu sendiri. Begitupun istri yang wajib dipatuhinya hanya perintah suami yang sesuai syari'at. Adapun perintah yang syubhat tidak wajib dilaksanakan. Bahkan si istri pun harus cerdas membedakan mana komando suami yang sesuai syariat, mana yang syubhat, dan mana yang bahkan melanggar syari'at. Untuk itu, baik suami maupun istri hendaknya saling mengingatkan dalam hal agama, dan saling berbagi pengetahuan.

Akan lebih baik lagi jika di dalam sebuah keluarga terdapat waktu khusus bersama untuk mengkaji ilmu agama Islam. Mengadakan majlis taklim keluarga merupakan salah satu ciri keluarga idaman yang Insya Allah akan membawa lebih banyak keberkahan memperkuat sakinah, mawaddah dan warohmah, bukan hanya bagi suami dan istri saja, melainkan juga bagi anak anak yang akan menjadi penyejuk mata. Maka kata ijab kabul bermakna "aku terima tanggung jawab untuk mendidik, mengingatkan, dan memperingatkan dalam menuju agama Allah" jika itu tidak dilakukan, maka dosa suami pun ikut mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah dan begitu pula dengan calon anak-anak kelak yang berada dibawah komandan seorang lelaki dengan gelar suami. 

“(Salah satu faidah nikah adalah) berjuang melawan diri sendiri dan melatih kepribadian dalam mengasuh, mengayomi, memenuhi kewajiban terhadap keluarga, bersabar atas kelakuan mereka, menanggung kecewa karena ulah mereka, berusaha memperbaiki dan menunjuki mereka ke jalan agama, berjuang mencari nafkah halal untuk mereka, dan mendidik anak-anak,”” Semua beban dan tanggung jawab yang dipikul kepala rumah tangga memiliki keutamaan besar karena ia mengandung tanggung jawab ri’ayah (kepemimpinan) dan wilayah (pengayoman). Keluarga dan anak adalah rakyat. Sedangkan keutamaan memimpin rakyat bernilai besar. Kalau pun ada orang menghindari itu, itu lebih didasarkan pada kekhawatiran tidak dapat menunaikan tanggung jawab tersebut.” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz II, halaman 36)

***

0 Komentar