Mahram Yang Haram Untuk Dinikahi
Desember 20, 2024
Setiap rumah tangga membutuhkan pemimpin yang mengatur dan mengelola urusan rumah tangga, demikian juga menjaga dan memperhatikan kondisi anggota keluarga. Pemimpin ini haruslah didengar, dipatuhi, dan ditaati selama tidak memerintahkan maksiat kepada Allah Ta’ala.
Pemimpin dalam rumah tangga ini adalah laki-laki (suami). Dan yang mengangkat laki-laki sebagi pemimpin adalah Allah Ta’ala sendiri. Allah Ta’ala berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Hal ini karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa’ [4]: 34)
Mengapa Suami Dijadikan Pemimpin?
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala sebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, dan Allah Ta’ala sebutkan sebabnya.
Keutamaan Laki-Laki Lebih dari Wanita
Sebab pertama yang Allah Ta’ala sebutkan adalah karena Allah telah memberikan keutamaan pada laki-laki lebih dari wanita. Misalnya, dari sisi penciptaan, laki-laki secara umum memiliki kekuatan fisik melebihi wanita. Laki-laki mampu melakukan berbagai pekerjaan berat yang tidak mampu dikerjakan oleh wanita. Laki-laki diberi kelebihan akal oleh Allah Ta’ala. Yang dimaksud dengan “kelebihan dari sisi akal” di sini adalah laki-laki mampu berpikir jernih tentang tindakan yang terbaik, mampu berpikir panjang dan jauh ke depan, sehingga lebih hati-hati dan lebih tepat dalam mengambil keputusan. Demikian pula kesabaran yang Allah Ta’ala berikan kepada mereka.
Sehingga kenabian itu hanya Allah Ta’ala khususkan bagi kaum laki-laki. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Kami tidaklah mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka. Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 7)
Dalam masalah kepemimpinan, syariat menetapkan kepemimpinan itu pada laki-laki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.” (HR. Bukhari no. 4425)
Dalam masalah fiqh persaksian, Allah Ta’ala jadikan persaksian seorang laki-laki setara dengan persaksian dua orang perempuan. Dalam masalah fiqh waris, Allah Ta’ala jadikan bagian untuk wanita itu separuh bagian kaum laki-laki.
Dalam masalah pernikahan, seorang laki-laki boleh menikah dengan empat wanita dalam satu waktu. Namun, seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami saja di satu waktu, tidak boleh lebih. Dalam masalah perceraian (thalaq), Allah Ta’ala jadikan hak thalaq dan ruju’ itu bagi kaum laki-laki (suami), tidak bagi kaum wanita (istri). Dalam masalah nasab, seorang anak itu dinasabkan (di-“bin”-kan) kepada bapaknya, kecuali dalam sedikit kasus saja yang dinasabkan kepada sang ibu.
Dalam syariat jihad, Allah Ta’ala jadikan kewajiban berjihad itu bagi kaum laki-laki, bukan kaum wanita. Demikian pula, mayoritas masalah berkaitan dengan amar makruf nahi mungkar itu berkaitan dengan laki-laki, dan bukan wanita. Meskipun boleh dalam sebagian kasus, seorang wanita melakukan nahi mungkar selama tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.
Maka hal ini menunjukkan bahwa “jenis” laki-laki Allah Ta’ala berikan keutamaan lebih dari jenis wanita. Hal ini sebagaimana dikuatkan pula oleh firman Allah Ta’ala,
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 228)
Penanggung Jawab Nafkah Istri dan Keluarga
Sebab kedua Allah Ta’ala menjadikan kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga adalah karena kaum laki-laki (suami) adalah penanggung jawab terhadap nafkah istri dan keluarga. Sejak akad nikah, suami wajib memberikan nafkah untuk sang istri, di samping mahar yang telah diberikan. Suami wajib memberikan nafkah kepada istri berkaitan dengan kebutuhan makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal (rumah). Oleh karena itu, dalam sebagian harta yang dimiliki suami terdapat hak bagi sang istri. Namun tidak sebaliknya, harta istri adalah milik istri, kecuali istri memberikan kerelaan berupa sedekah kepada sang suami.
Karena sebab kepemimpinan laki-laki adalah nafkah kepada sang istri, maka jika suami membebankan nafkah rumah tangga kepada istri, maka kepemimpinannya telah jatuh. Demikian pula, jika istri ikut bertanggung jawab terhadap sebagian nafkah keluarga, maka pada asalnya istri telah mengambil sebagian kepemimpinan laki-laki. Oleh karena itu kami nasihatkan, jika suami mengizinkan istri untuk bekerja (sehingga konsekuensinya memiliki penghasilan sendiri), maka jadikanlah penghasilan istri itu untuk dirinya (istri) sendiri. Adapun kebutuhan nafkah untuk keluarga, maka 100% tetap di tangan suami. Hal ini mengingat sebab kepemimpinan laki-laki adalah karena laki-laki yang memegang urusan nafkah kepada istri dan keluarganya. Juga agar laki-laki bisa menegakkan kepalanya di depan sang istri dan tetap menjaga kewibawaannya di hadapan sang istri. Selain itu, jika istri memegang dan bertanggung jawab terhadap sebagian urusan nafkah, hal ini akan menjadi salah satu sebab seorang istri kemudian durhaka kepada suami karena merasa telah banyak berjasa kepada sang suami.
Tingginya Kedudukan Suami di Sisi Sang Istri
Kalau kita merenungkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita dapati bagaimanakah tingginya kedudukan suami di sisi sang istri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya akan aku perintahkan perempuan untuk bersujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi no. 1159, dinilai hasan shahih oleh Al-Albani) Dalam riwayat Al-baihaqi terdapat tambahan, “Karena Allah telah mengagungkan hak suami yang wajib ditunaikan istri.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra 7: 475, dengan sanad yang shahih)
Tingginya kedudukan suami, juga digambarkan dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, beliau meengatakan, “Seseorang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disertai anak perempuannya. Kemudian dia berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya anakku ini, dia enggan untuk menikah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada perempuan tersebut, “Patuhilah bapakmu.” Perempuan itu berkata, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebanaran, aku tidak mau menikah sampai Engkau mengabarkan kepadaku apa hak suami yang wajib ditunaikan istri.” Dia terus mengulang-ulang permintaan tersebut. Rasulullah bersabda, “Hak suami yang wajib ditunaikan istri itu bagaikan jika suami memiliki luka, lalu sang istri menjilati luka tersebut, atau jika dari kedua lubang hidung suami keluar nanah atau darah, kemudian sang istri menjilatinya, belumlah dinilai memenuhi hak suami.” Perempuan itu berkata, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebanaran, aku tidak akan menikah selamanya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada sang ayah, “Janganlah Engkau menikahkannya, kecuali dengan seijinnya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 4: 303; Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 7: 291; An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra, 3: 383)
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan tingginya kedudukan suami. Sampai-sampai jika suami terluka dan berdarah, lalu sang istri menjilati darah tersebut, hal itu dinilai belum menunaikan hak suami. Karena itulah, anak perempuan tersebut tidak mau menikah, dan hal ini disetujui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga dapat diambil faidah dari hadits ini bahwa seorang perempuan boleh untuk memilih tidak menikah. Dan juga dalil tidak bolehnya nikah paksa dalam ajaran Islam.
Inilah Pembagian atau Ketetapan dari Allah Ta’ala
Beberapa perkara di atas menunjukkan kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga. Bagi istri, hendaklah menerima hal ini karena inilah pembagaian atau ketetapan dari Allah Ta’ala. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 32)
Konsekuensi Kepemimpinan Laki-Laki dalam Rumah Tangga
Ketika seorang laki-laki menjadi pemimpin rumah tangga, tidak lantas dia hanya memikirkan hak-haknya saja sebagai suami sekaligus kepala rumah tangga. Akan tetapi, dia juga harus memperhatikan tanggung jawab yang harus dia tunaikan.
Mendidik Keluarga dengan Ajaran Islam
Tanggung jawab laki-laki yang terbesar adalah membimbing dan mendidik keluarganya agar terhindar dari api neraka. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim [66]: 6)
Berkaitan dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka”, sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Didiklah dan ajarkanlah mereka (perkara agama).” Sedangkan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Berbuatlah ketaatan kepada Allah dan takutlah dari bermaksiat kepada Allah. Perintahkanlah keluargamu (anak dan istrimu) untuk berdzikir, semoga Allah menyelamatkan kalian dari neraka.” Mujahid rahimahullah berkata, “Bertakwalah kepada Allah dan berwasiatlah kepada keluarga kalian agar mereka bertakwa kepada Allah.” Demikian pula yang dikatakan oleh Adh-Dhahhak dan Muqatil, “Menjadi kewajiban seorang muslim (laki-laki) untuk mengajarkan kewajiban yang Allah tetapkan dan larangan-larangan Allah kepada kerabat, budak perempuan, dan budak laki-lakinya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 8: 188-189)
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka. Seorang suami dalam keluarga adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Ketahuilah, bahwa setiap kalian adalah pemimipin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas siapa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)
Perintahkan Anak untuk Mendirikan Shalat
Dan di antara contoh tanggung jawab seorang kepala rumah tangga adalah memerintahkan anak-anaknya untuk mendirikan shalat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Perintahkanlah anak kecil untuk melaksanakan shalat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun. Dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun, maka pukullah apabila dia tidak melaksanakannya.” (HR. Abu Dawud no. 494)
Mendidik Anak Tanggung Jawab Suami dan Istri
Di antara kesalahan suami adalah dia menyerahkan semua urusan pendidikan anak kepada istri. Dia menganggap bahwa urusan dia adalah mencari nafkah (saja). Sedangkan urusan mendidik anak, itu adalah urusan sang istri. Ini adalah sebuah kekeliruan yang besar. Jika ada istilah “istri adalah madrasah pertama bagi anak-anak”, maka ingatlah bahwa madrasah itu memiliki kepala sekolah. Dan siapa lagi kepala sekolah madrasah anak-anaknya selain sang suami (sang bapak) itu sendiri.
Memimpin dengan Penuh Kelembutan
Memimpin rumah tangga dengan tanggung jawab yang sedemikian besar, bukanlah artinya seorang suami harus bersikap keras dan kasar di rumah. Bahkan sebaliknya, hendaknya dia berhias dengan akhlak yang mulia, berhias dengan kelembutan, dan kasih sayang sebagaimana yang ditunjukkan oleh teladan kita, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Ta’ala berfirman,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 159)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi agar seseorang memiliki sikap lemah lembut kepada sesama. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya kasih sayang (kelembutan) itu tidak akan berada pada sesuatu, melainkan dia akan menghiasinya (dengan kebaikan). Sebaliknya, jika kasih sayang (kelembutan) itu dicabut dari sesuatu, dia akan membuatnya menjadi buruk.” (HR. Muslim no. 2594)
Ketika seorang istri diperintahkan untuk taat kepada suami, maka sudah semestinya bagi seorang suami untuk bersikap lembut, penuh kasih sayang, dan bersikap mudah (tidak mempersulit) kepada sang istri.
(Jika) Suami yang Lembut di Luar tapi Keras di dalam Rumah
Seorang laki-laki bisa jadi dia menunjukkan sikap yang baik ketika di kantor, bertemu dengan rekan kerja, dan seterusnya. Karena memang sikap semacam itu bisa jadi adalah tuntutan pekerjaan dan sejenis dengan itu. Karena di kantor, dia berhadapan dengan atasan, pimpinan, dan koleganya. Sehingga mau tidak mau, dia akan berusaha “tampil” sebaik mungkin.
Akan tetapi ketika di rumah, bisa jadi seorang laki-laki bersikap sebaliknya. Dia berubah menjadi manusia yang bermuka masam, pemarah, tidak mau membantu sama sekali pekerjaan-pekerjaan di rumah, karena dia berhadapan dengan sang istri, yaitu pihak yang dia nilai lemah dan berada di bawah “kekuasaan” suami. Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengibaratkan perempuan (istri) itu sebagai tawanan suami. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ
“Sesungguhnya mereka itu (wanita) hanyalah tawanan di sisi kalian (suami).” (HR. Tirmidzi no. 1163, hadits hasan)
Maka bisa jadi, tampaklah wujud asli akhlak dan karakter laki-laki tersebut ketika bersama istrinya di rumah. Jadi tidaklah mengherankan jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa laki-laki yang paling baik adalah yang paling baik sikap dan tingkah lakunya di depan istrinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Pergaulilah wanita dengan baik, sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk. Dan sesuatu yang paling bengkok yang terdapat tulang rusuk adalah bagian paling atas. Jika kamu meluruskannya dengan seketika, niscaya kamu akan mematahkannya (yaitu, menceraikannya). Namun jika kamu membiarkannya, maka dia pun akan selalu dalam keadaan bengkok. Karena itu, pergaulilah wanita dengan penuh kebijakan.” (HR. Bukhari no. 5186 dan Muslim no. 1468)
Allah Ta’ala memerintahkan suami untuk memperlakukan istrinya dengan baik dalam sejumlah ayat. Allah Ta’ala berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang ma’ruf (baik).” (QS. An-Nisa’ [4]: 19)
Suami, Jangan Dzalimi Istrimu
Jika seorang istri sudah taat kepada suami, maka tidak boleh bagi suami untuk mencari-cari kesalahan istri dan bersikap dzalim kepada istrinya. Allah Ta’ala mengatakan,
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Kemudian jika mereka (istri) mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. An-Nisa’ [4]: 34)
Dalam ayat di atas, jika seorang istri telah taat kepada suaminya dalam perkara-perkara yang diinginkan suami, maka setelah itu tidak boleh bagi suami untuk mencari-cari jalan dan celah untuk menyusahkan dan mendzalimi sang istri. Dia tidak boleh memukul istrinya, juga tidak boleh mendiamkannya. Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menutup dengan menyebutkan dua nama-Nya yang mulia, yaitu “Maha Tinggi” dan “Maha Besar”. Hal ini mengandung faidah adanya ancaman bagi laki-laki yang berbuat dzalim dan melampaui batas kepada istrinya tanpa ada sebab yang dibenarkan oleh syariat. Maka Allah Ta’ala itu Maha Tinggi dan Maha Besar yang akan menghukum siapa saja yang berbuat dzalim kepada istri dan berbuat yang melampaui batas kepada istrinya.
0 Komentar