Pernikahan di Dalam Islam

 


Salah satu ujian yang Allah Ta’ala berikan untuk mereka yang hidup di akhir zaman adalah tersebarnya fitnah syahwat, di mana manusia begitu mudahnya mengumbar aurat, baik itu berpakaian minim ataupun berpakaian namun membentuk lekuk tubuh. Belum lagi betapa mudahnya kita menemukan dan mendapati foto maupun video yang menampilkan hal-hal yang tidak pantas untuk kita lihat. Ini semua sejalan dengan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ، رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ، وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Dua (jenis manusia) dari ahli neraka yang aku belum melihatnya sekarang, yaitu: kaum yang membawa cemeti-cemeti seperti ekor sapi yang mereka memukul manusia dengannya dan perempuan-perempuan yang berpakaian tapi telanjang, yang berjalan berlenggak lenggok yang kepala mereka seperti punuk unta yang condong. Mereka tidak akan masuk surga bahkan tidak akan mendapati wanginya, padahal sesungguhnya wangi surga itu telah tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim)

Harus kita ketahui, tidaklah Allah Ta’ala menurunkan cobaan dan fitnah, kecuali pasti Allah Ta’ala menurunkan penangkalnya serta memberikan penggantinya. Fitnah syahwat ini sudah Allah Ta’ala takdirkan terjadi di zaman kita, namun tentu saja Allah sudah memberikan solusinya. Apa itu?

Menikah. Rasulullah sangat menganjurkan umatnya untuk menikah, terutama untuk para pemudanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah. Karena sesunguhnya nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa. Karena sesungguhnya puasa itu dapat membentengi dirinya.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya)

Pernikahan merupakan salah satu kenikmatan terbesar yang Allah Ta’ala berikan kepada kita, serta merupakan salah satu ibadah yang paling agung. Dengannya kita akan meraih ketenangan hati, ketentraman jiwa, serta menjaga kehormatan diri kita. Allah Ta’ala berfirman,

ومِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)

Yang tidak kalah penting, pernikahan merupakan pintu untuk kebaikan-kebakaran lainnya. Salah satunya adalah ia merupakan wasilah keselamatan dan ladang pahala jika kita sudah meninggal dunia. Bagaimana bisa? Ya, ketika dengan pernikahan ini kita dikaruniai anak-anak saleh yang selalu mendoakan kita, dan memintakan ampunan untuk kita kelak ketika kita meninggal, ketika diri kita sudah tidak mampu melakukan semua hal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Ketika seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali 3 (perkara), yaitu : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Definisi Pernikahan dan Hukumnya di dalam Islam

Kata pernikahan berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘An-nikah’ yang memiliki beberapa makna. Menurut bahasa, kata “nikah” berarti berkumpul, bersatu, dan berhubungan. Sedangkan menurut istilah fikih sebagaimana yang tertera di dalam kitab-kitab fikih-fikih mazhab Syafi’i, pernikahan adalah “akad yang membolehkan hubungan seksual dengan lafaz nikah, tazwij, atau lafadz lain dengan makna serupa”.

Sedangkan hukum pernikahan, maka itu tergantung berdasarkan kondisi yang terjadi pada kedua calon pasangan pengantin. Hukum pernikahan dalam Islam dibagi ke dalam beberapa jenis, yakni:

Pertama, wajib. Jika baik pihak laki-laki dan perempuan sudah memasuki usia wajib nikah, tidak ada halangan, mampu membayar mahar dan menafkahi, serta ia yakin akan terjatuh ke dalam zina jika tidak menikah. Dan hal itu tidak bisa dibendung walau dengan berpuasa. Kita ketahui bersama bahwa seorang muslim dituntut dan diwajibkan untuk menjaga kesucian dan kehormatan dirinya dari terjatuh kepada hal-hal yang Allah Ta’ala haramkan. Sedangkan ada kaidah yang berbunyi “sesuatu yang menjadi syarat bagi sebuah kewajiban, maka hukumnya juga menjadi wajib”. Sehingga, menikah pun dihukumi wajib karena kita tidak dapat terhindar dari perbuatan haram, kecuali dengan melaksanakannya.

Kedua, sunah. Menurut pendapat para ulama, sunah adalah kondisi di mana seseorang memiliki kemauan dan kemampuan untuk menikah, namun belum juga melaksanakannya. Orang ini juga masih dalam kondisi terhindar atau terlindung dari perbuatan zina. Sehingga, meskipun belum menikah, tidak khawatir terjadi zina.

Ketiga, haram, ketika pernikahan dilaksanakan saat seseorang tidak memiliki keinginan dan kemampuan untuk menikah, namun dipaksakan. Nantinya dalam menjalani kehidupan rumah tangga, dikhawatirkan istri dan anaknya ditelantarkan.

Keempat, makruh, apabila seseorang memiliki kemampuan untuk menahan diri dari perbuatan zina. Akan tetapi, belum berkeinginan untuk melaksanakan pernikahan dan memenuhi kewajiban sebagai suami.

Keempat, mubah, jika pernikahan dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan dan keinginan. Akan tetapi, jika tidak menikah pun dia bisa menahan diri dari zina. Jika pernikahan dilakukan, orang tersebut juga tidak akan menelantarkan istrinya.

Rukun Nikah dan Syarat-Syaratnya

Sebagaimana akad dan ibadah lainnya, agar menjadi akad yang sah dan diterima tentu harus memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun nikah adalah semua perkara yang wajib dilaksanakan untuk menentukan sah atau tidaknya sebuah pernikahan. Rukun pernikahan dalam Islam ada 5 hal, yaitu:

Pertama, calon pengantin pria, yang memiliki persyaratan seperti: beragama islam, tidak sedang dalam keadaan ihram, berdasarkan keinginannya sendiri dan bukan paksaan, identitas jelas, mengetahui nama calon istrinya ataupun sosoknya ataupun sifatnya, mengetahui dengan jelas bahwa calonnya bukan dari kategori perempuan yang haram untuk dinikahi (misalnya adanya pertalian darah ataupun saudara sepersusuan), serta jelas kelaminnya bahwa ia laki-laki (tidak memiliki kelainan kelamin).

Kedua, calon pengantin perempuan, yang memenuhi persyaratan seperti tidak sedang dalam keadaan ihram, identitas jelas, berstatus single (tidak dalam status menikah dengan orang lain), dan tidak sedang dalam masa iddah dari pernikahannya dengan orang lain.

Ketiga, wali, rukun ini disebutkan di dalam hadis sahih:

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ

“Tidak (sah) nikah, kecuali dengan kehadiran wali dan dua orang saksi.” (HR. Thabrani. Hadis ini juga terdapat dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 7558)

Sedangkan syarat-syaratnya adalah: berdasarkan keinginannya sendiri, merdeka (bukan budak), laki-laki, dewasa (sudah balig), tidak disifati dengan kefasikan, tidak mengalami gangguan akal, baik itu karena tua (pikun) ataupun karena gila, tidak bodoh dan dungu, dan tidak dalam kondisi ihram. Wali seorang perempuan adalah ayahnya ataupun pewaris laki-laki (asobah) untuk seorang perempuan.

Keempat, dua orang saksi, di mana saksi ini nantinya yang akan menentukan apakah pernikahan sah ataukah tidak. Sedangkan syaratnya: kompeten di bidang persaksian, dan ia tidak ditunjuk sebagai wali nikah (tidak bisa dirangkap pada diri seseorang, dia menjadi wali sekaligus saksi).

Kelima, ada ijab dan qabul, yaitu akad yang dilakukan calon pengantin pria dan wali dalam prosesi pernikahan. Syarat-syaratnya adalah: menggunakan kata-kata zawwajtuka atau ankahtuka ataupun yang terbentuk dari keduanya maupun terjemahnya ke bahasa lain, membaca ijab dan qabul dengan jelas dan lantang, tidak ada jeda antara keduanya, secara kontan (tanpa syarat apapun dan untuk saat itu juga tidak terikat dengan waktu).


9 Bentuk Pernikahan Batal alias Tidak Sah

Layaknya akad-akad yang lain, pernikahan bisa jadi tidak sah (batal dan rusak) bilamana tidak memenuhi syarat dan rukunnya. Dalam kaitan ini, Syekh Wahbah ibn Mushthafa al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu telah menguraikannya kepada kita semua berdasarkan beberapa pendapat. Namun, mengingat keterbatasan ruang, yang akan diuraikan di sini hanyalah pernikahan batal menurut para ulama Syafi‘iyah saja. Dijelaskan al-Zuhaili, yang dimaksud pernikahan batal ialah pernikahan yang tidak memenuhi rukun. Sedangkan pernikahan rusak ialah pernikahan yang tidak memenuhi syarat. Namun, baik yang batal maupun yang rusak, oleh para ulama Syafi’iyah, hukumnya tidak dibedakan. Karenanya, tak mengherankan jika jumlah bentuk pernikahan batal ini cukup banyak dan berbeda jumlahnya dengan pendapat mazhab lain.

Selain itu, menurut ulama Syafi’iyah, dalam pernikahan yang batal ini tidak ada konsekuensi apa pun layaknya pernikahan yang sah, seperti mahar, nafkah, mahram pernikahan, nasab, atau iddah (lihat: al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, [Darul Fikr: Damaskus] jilid 9, hal. 6613). Ada beberapa bentuk pernikahan batal menurut mazhab ini, namun yang paling utama, ungkap al-Zuhaili, ada sembilan.

Pertama, pernikahan syighar. Sebagaimana yang pernah disampaikan, pernikahan syighar adalah pernikahan di mana seorang laki-laki menikahkan putri atau saudari perempuannya dengan laki-laki lain dengan mahar, dirinya dinikahkan dengan putri laki-laki lain tersebut. Contohnya ungkapan akadnya, “Aku nikahkan engkau dengan putriku dengan mahar engkau menikahkanku dengan putrimu.” Akad ini tidak sah karena ada gabungan dua akad dan menjadikan akad masing-masing sebagai maharnya. Artinya, jika keduanya tidak menggabungkan dua akad dan tidak menjadikan akad masing-masing sebagai maharnya, maka pernikahannya sah. Ketidaksahan pernikahan ini berdasarkan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tidak ada nikah syighar dalam Islam.” Larangan ini berimplikasi pada rusaknya perkara yang dilarang.

Kedua, pernikahan mut‘ah. Pernikahan mut‘ah adalah pernikahan yang dibatasi oleh waktu tertentu, baik sebentar maupun lama. Contohnya ungkapan laki-laki kepada istri yang ingin dinikahinya, “Aku menikahimu selama satu bulan,” atau, “Aku menikahimu hingga selesai kuliah,” atau “Aku menikahimu sampai aku mencampurimu, hingga engkau halal bagi suami yang telah menalakmu dengan talak tiga.” Mestinya, akad pernikahan dilakukan secara mutlak—tanpa ikatan waktu—dan ditujukan untuk selama-lamanya atau hingga terjadi perceraian yang tak dipersyaratkan sejak akad.

Ketiga, pernikahan orang ihram. Tidak sah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang sedang ihram, baik uhram haji, ihram umrah, atau ihram keduanya, baik dengan akad yang sah maupun dengan akad yang rusak, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Orang yang ihram tidak boleh menikah dan tak boleh dinikahkan.” Namun, selain menikah, orang yang sedang ihram boleh melakukan rujuk atau menjadi saksi pernikahan. Pasalnya, rujuk adalah melanjutkan perkawinan, bukan mengawali perkawinan.

Keempat, pernikahan dengan beberapa akad, dimana dua orang wali menikahkan satu orang perempuan dengan dua orang laki-laki. Tidak diketahui secara pasti siapa yang akadnya lebih dahulu. Jika salah seorang laki-laki itu menggaulinya, maka wajib baginya mahar mitsli. Jika keduanya menggaulinya, maka si perempuan berhak mahar mitsil dari keduanya. Pertanyaannya, bagaimana jika diketahui akad yang dilakukan lebih dahulu, maka akad itu yang sah.

Kelima, pernikahan perempuan yang beriddah dan sedang istibra dari mantan suaminya walaupun dari hasil senggama syubhat. Jika laki-laki yang menikahi perempuan beriddah itu menggaulinya, maka ia harus dijatuhi hukuman (had) kecuali jika ia tidak mengetahui status keharaman menikahi dengan perempuan beriddah dan sedang istibra. Orang yang tidak tahu harus dimaafkan, terlebih jika ia awal-awal masuk Islam atau jauh dari para ulama.

Keenam, pernikahan dengan perempuan yang ragu akan kehamilannya sebelum habis masa iddah. Sehingga, haram menikahi perempuan yang seperti itu hingga keraguannya hilang, meskipun masa iddah dengan 3 kali quru (masa suci) telah habis. Keharaman ini lahir dari keraguan tadi. Demikian pula siapa pun yang menikahi perempuan yang diduga masih masa iddah atau sedang istibra dari kehamilan, atau sedang ihram haji dan umrah, atau karena salah satu mahram, namun ternyata sebaliknya, maka nikahnya batil karena ragu akan kehalalannya.

Ketujuh, pernikahan seorang Muslim dengan perempuan non-Muslim selain Kitabiyyah (ahli kitab) asli, seperti perempuan penyembah berhala, penyembah api (majusi), penyembah matahari, atau perempuan murtad, atau perempuan kitabiyyah tidak murni seperti keturunan antara kitabi dan majusi atau sebaliknya. Hal ini berdasarkan firman Allah, Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman, (QS al-Baqarah [2]: 221).

Maksud perempuan Kitabiyyah adalah perempuan Yahudi dan Nasrani. Perempuan Yahudi boleh dinikah dengan catatan asal-usul agama Yahudi-nya tidak termasuk ke dalam agama Yahudi setelah di-mansukh. Sementara perempuan Nasrani boleh dinikah jika diketahui asal-usul agama Nasrani-nya masuk ke dalam agama Nasrani sebelum di-mansukh, walaupun setelah terjadi perubahan selama mereka berusaha menjauhi ajaran-ajaran yang diubah tersebut.

Dasar kebolehan menikahi keduanya adalah firman Allah, (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, (QS al-Maidah [5]: 5). Maksud kitab yang diberikan kepada mereka adalah Taurat dan Injil, namun tidak termasuk kitab-kitab lain, seperti suhuf Nabi Syits, suhuf Nabi Idris, atau suhuf Nabi Ibrahim a.s.

Kedelapan, pernikahan dengan perempuan yang pindah dari satu agama kepada agama lain. Singkatnya, ia tidak boleh dinikah. Singkatnya, tidak boleh diterima agamanya kecuali agama Islam.

Kesembilan, pernikahan seorang Muslimah dengan laki-laki non-Muslim atau pernikahan perempuan yang murtad dengan laki-laki Muslim. Atas dasar ijmak ulama, tidak boleh seorang Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim, sebagaimana dalam Al-Quran, Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin), (QS al-Baqarah [2]: 221).

Bagaimana, jika salah seorang dari suami atau istri ada yang murtad sebelum bergaul suami istri, maka batallah pernikahannya. Adapun setelah bergaul suami-istri, maka harus ditunggu. Jika mereka dipersatukan kembali oleh Islam selama masa iddah, maka langgenglah pernikahnnya. Namun jika tidak, pernikahannya terputus.

Selain pernikahan yang batal, ada lagi pernikahan yang makruh, yaitu pernikahan atas perempuan yang telah dilamar orang lain dan pernikahan muhallil dengan niat menghalalkan perempuan yang telah ditalak tiga tanpa ada syarat harus talak sewaktu akad. Namun, jika pernikahannya dengan syarat, seperti syarat setelah istrinya dicampuri harus ditalak, maka pernikahannya menjadi batal.


Inilah 13 Jenis Sistem Perkawinan Arab Jahiliyah 

Sistem perkawinan adalah salah satu contoh yang dapat menjelaskan bagaimana pandangan bangsa Arab pada umumnya dalam menyikapi peradan dan posisi Kaum Hawa. Pada masa menjelang kedatangan Islam, kita dapat menemukan beberapa jenis perkawinan dalam sistem sosial masyarakat Arab:

Pertama, Perkawinan Mut’ah. Yaitu, sebuah sistem “perkawinan kontrak” untuk jangka waktu tertentu. Jika masa kontrak sudah habis, maka kedua pasangan suami istri berpisah secara otomatis. Perkawinan model seperti ini sudah lazim di kalangan masyarakat Arab pada umumnya. Bahkan, sampai masa kedatangan Islam awal, sistem perkawinan seperti ini masih berlaku. Namun, pada tahun ke-8 H (629 M), perkawinan model seperti ini diharamkan dalam Islam untuk selamanya.

Kedua, Perkawinan Zawaq. Yaitu, sebuah sistem perkawinan coba-coba yang diterapkan oleh suku-suku baduwi. Sistem perkawinan semacam ini hampir mirip seperti Perkawinan Mut’ah, tetapi tidak terikat dengan suatu kontrak perjanjian. Caranya, sepasang suami istri melakukan perkawinan coba-coba, namun jika dalam perjalanan rumahtangga terdapat ketidakcocokan, keduanya bisa langsung menyatakan putus hubungan. Perkawinan semacam ini tidak dikenal dalam Syariat Islam. Artinya, Syariat Islam tidak membenarkan model perkawinan semacam ini.  

Ketiga, Perkawinan Istibda. Yaitu, sistem perkawinan yang dilakukan seperti “perdagangan” (prostitusi). Sepasang suami istri melangsungkan perkawinan. Akan tetapi, sang suami tidak langsung berhubungan badan dengan istrinya. Sang istri yang masih perawan justru dikirimkan kepada tokoh terhormat atau kepala suku supaya digauli sampai hamil. Baru setelah diketahui sang istri positif hamil, maka suaminya baru akan menggaulinya. Itu pun kalau suaminya masih berminat. Tujuan dari sistem perkawinan ini agar sepasang suami istri mendapat keturunan dari keluarga terhormat. Tradisi perkawinan semacam ini berlaku umum bagi suku-suku padang pasir yang nomaden. Setelah kedatangan Islam, sistem perkawinan semacam ini tidak diakui. Artinya, sistem perkawinan Istibda diharamkan.

Keempat, Perkawinan Khadn. Yaitu, hubungan intim atas dasar suka sama suka (kumpul kebo). Sepasang kekasih melakukan hubungan layaknya suami istri, tetapi tanpa melewati proses ijab-qabul dan dilakukan secara terang-terangan, diketahui oleh masyarakat sekitarnya. Tampaknya, Suku Quraish juga mengenal sistem perkawinan semacam ini. Bahkan, Abdullah bin Abdul Muthalib sebelum menikah dengan Aminah sempat ditawar supaya kumpul kebo dengan salah seorang perempuan dari Bani Asad. Namun, Abdullah sendiri menolak karena dia telah dijodohkan dengan Aminah. Perkawinan model seperti ini pun tidak dikenal dalam Islam.

Kelima, Perkawinan Mutadhaminah. Yaitu, sistem perkawinan yang saling membalut. Sistem perkawinan ini identik dengan perselingkuhan yang dibiarkan secara terang-terangan. Misalnya, seorang istri selingkuh dengan lelaki lain, tetapi oleh suaminya dibiarkan saja. Bahkan, sang suami bisa menyuruh istrinya supaya selingkuh dengan lelaki lain dengan tujuan untuk mendapatkan harta kekayaan (prostitusi). Sistem perkawinan semacam ini sudah menjadi tradisi bagi suku-suku nomaden dan menetap di jazirah Arab. Perkawinan semacam ini juga diharamkan dalam Islam.

Keenam, Perkawinan Badal. Yaitu, sistem perkawinan tukar-menukar istri. Seorang suami akan menukarkan istrinya kepada lelaki lain, begitu juga sebaliknya. Tradisi perkawinan semacam ini sudah masyhur di kalangan bangsa Arab. Tidak hanya bagi suku-suku nomaden saja, tetapi juga berlaku bagi suku-suku yang menetap. Perkawinan semacam ini pun diharamkan dalam Islam.

Ketujuh, Perkawinan Syighar. Yaitu, perkawinan liardengan sistem barter.Misalnya, seorang laki-laki mengawini seorang wanita dengan sistem pertukaran antara adik laki-laki si istri dikawinkan dengan adik wanitanya. Perkawinan semacam ini diharamkan dalam Islam.

Kedelapan, Perkawinan Maqt. Yaitu, perkawinan “kutukan.” Misalnya, seorang suami meninggal dunia, maka istrinya diwariskan kepada ahli warisnya. Posisi wanita diakui sebagai harta benda yang dapat diwariskan kepada ahli waris. Nasib janda tersebut tergantung kepada ahli waris, apakah akan dikawinkan lagi atau dibiarkan menjanda seumur hidup. Perkawinan model seperti ini tidak dikenal dalam Islam.

Kesembilan, Perkawinan Saby. Perkawinan ini adalah dampak dari tradisi perang di kalangan bangsa Arab jahiliyah. Setiap wanita yang menjadi tawanan perang, jika tidak ada yang menebusnya, maka dia menjadi milik orang yang memenangkan perang. Nasibnya tergantung pada pemiliknya, apakah dia akan dinikahi tanpa mahar dan persetujuan dari walinya atau justru akan dijual sebagai budak. Sistem perkawinan semacam ini hampir merata di jazirah Arab pra Islam. Perkawinan semacam ini diharamkan dalam Islam.

Kesepuluh, Perkawinan Hamba Sahaya. Yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang tuan dengan perempuan sahayanya. Jika sampai melahirkan, maka anak tersebut menjadi hak tuannya. Akan tetapi, dalam tradisi masyarakat Arab jahiliyah, perkawinan semacam ini amat jarang terjadi. Sebab, seorang tuan paling benci memiliki anak dari budaknya. Dalam Islam, perkawinan semacam ini dihalalkan, tetapi bukan menjadi prioritas.

Kesebelas, Perkawinan Muhrim. Yaitu, perkawinan antara seseorang dengan muhrimnya. Misalnya, seorang kakak mengawini adiknya. Atau, seorang ayah mengawini putri kandungnya. Perkawinan jenis ini diharamkan dalam Islam.

Keduabelas, Perkawinan Poligami. Yaitu, perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan yang lebih dari satu. Bahkan, dalam tradisi Arab pra Islam, seorang laki-laki, khususnya dari kalangan keluarga terhormat, bisa memiliki istri sampai lebih dari sepuluh orang. Dalam tradisi Islam, perkawinan seperti ini dapat ditolerir dengan syarat-syarat tertentu. Jumlah istri dalam perkawinan poligami maksimal empat orang, tidak boleh lebih. Adapun penerapannya dengan mempertimbangkan konteks sosio-historis dengan ketentuan-ketentuan yang ketat.

Ketigabelas, Perkawinan Bu’ulah. Yaitu, perkawinan antara seorang laki-laki status perjaka dengan seorang gadis (monogami) dengan ketentuan ijab-qabul dan mahar. Walaupun tidak populer di kalangan masyarakat Arab Jahiliyah, tetapi inilah yang dalam syariat Islam tetap dilestarikan hingga saat ini. Lewat Risalah Islamiyyah, tradisi perkawinan seperti ini dilegalkan untuk kemudian disempurnakan. 

***

0 Komentar