Ijab Kabul dan Mahar


Kalimat Ijab Qabul dan Mewakilkan Wali Perkawinan

Salah satu rukun nikah yang wajib ada saat prosesi akad nikah adalah adanya kalimat ijab qabul. Ijab merupakan kalimat dari pihak wali pengantin perempuan yang menyatakan bahwa dirinya menikahkan anak perempuannya atau perempuan yang berada di bawah perwaliannya kepada pengantin laki-laki. Sedangkan qabul merupakan jawaban menerima dari pengantin laki-laki atas ijab yang diucapkan oleh wali pengantin perempuan.

Semestinya sebagai wali—baik berupa ayah kandung atau pihak keluarga lainnya—dari pengantin perempuan ia mengucapkan sendiri kalimat ijab pada saat proses akad nikah. Namun yang lumrah terjadi di masyarakat adalah wali mewakilkan kepada orang lain untuk mengucapkan kalimat ijab tersebut.

Biasanya orang yang ditunjuk untuk mewakili adalah penghulu dari Kantor Urusan Agama setempat atau tokoh agama yang dikenal seperti gurunya atau tokoh agama masyarakat setempat. Meski demikian tak menutup kemungkinan orang yang ditunjuk untuk mewakili wali adalah orang lain seperti kerabat terdekat yang dituakan.

Ada banyak alasan mengapa wali tidak mau melakukan sendiri pengucapan kalimat ijab. Kebanyakan mereka beralasan sebagai orang awam merasa tidak mampu dan tidak memiliki keahlian untuk melakukan itu.

Sedangkan dalam hal pengucapan kalimat qabul bisa dikatakan hampir semuanya dilakukan sendiri oleh pengantin laki-laki, tidak diwakilkan. Sangat jarang—atau bahkan hampir tidak pernah—kita jumpai pengantin laki-laki mewakilkan pengucapan kalimat qabul-nya kepada orang lain.


Berikut Hukum Mengulang Akad Nikah karena Salah

BARANGKALI di antara dari kita pernah melihat calon suami salah mengucapkan qabul dalam pernikahan. Pertanyaannya kemudian, apakah benar kalau calon suami salah mengucapkan qabul sebanyak tiga kali karena salah sebab grogi atau yang lainnya, maka harus diulang di lain hari?

Sebelum memjawab itu, perlu diketahui bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sangat agung dan memiliki nilai besar dalam agama. Seperti dilansir NU Online, pernikahan disebut dengan mitsaqan ghalizha (perjanjian yang teguh). Momen sakral dan tanggung jawab yang demikian besar sering membuat seseorang gugup ketika melangsungkan akad nikah. Di samping juga biasanya disaksikan oleh banyak orang. Bagian terpenting dalam akad nikah adalah ijab qabul. Bahkan bisa dikatakan akad nikah adalah ijab qabul itu sendiri. Dalam ijab qabul ada delapan syarat yang harus terpenuhi yaitu: 

1. Antara ijab dan qabul tidak terpisah oleh ucapan lain (ucapan yang tak ada kaitannya dengan akad nikah). 

2. Antara ijab dan qabul tidak terpisah oleh diam yang lama. 

3. Kesesuaian kandungan makna kalimat ijab dan qabul. 

4. Tidak dita'liq (digantungkan pada suatu hal). 

5. Tidak diberi batas waktu lama pernikahan. 

6. Diucapkan dengan suara sekira bisa didengar orang di dekatnya. 

7. Wali dan calon suami memenuhi syarat hingga wujud ijab qabul.

8. Menggunakan derivasi lafal inkah, tazwij, atau terjemahannya yang bisa dipahami oleh pihak yang berakad (wali dan calon suami) dan kedua saksi. (Muhammad bin Salim bin Hafidz, Al-Miftah li Babin Nikah, [1379 H], halaman 35).   

Ijab adalah ucapan wali, sedangkan ucapan calon suami disebut qabul. Terkait keabsahan akad yang ditimbulkan oleh salah dalam qabul ini perlu dilihat dari sisi mana dulu kesalahan itu. Sebagaimana diketahui, umumnya qabul dalam pernikahan dengan menggunakan shighat sebagaimana berikut:

   قبلتُ نكاحها وتزويجها لنفسي بالمهر المذكور حالا   

Artinya: "Saya terima nikahnya dan kawinnya perempuan tersebut dengan mas kawin yang telah disebutkan dengan dibayar kontan."   

Dalam kalimat qabul sebenarnya terdiri atas dua unsur yaitu: 

Unsur menerima pernikahan berupa kalimat قبلت نكاحها وتزويجها atau saya terima nikahnya. 

Unsur lainnya adalah penyebutan mahar.

Kesalahan dalam penyebutan mahar sehingga apa yang dikatakan wali dan calon suami tidak sama tidak memengaruhi keabsahan nikah. Nikah tetap sah namun mahar yang harus dibayarkan adalah mahar mitsil.   

Sedangkan kesalahan dalam unsur menerima pernikahan bisa beragam. Dalam hal ini baru bisa dijawab bila ada penjelasan pasti kesalahan tersebut. Namun yang pasti, qabul dengan kalimat "Saya terima nikahnya", "saya ridha menikahinya", atau "saya menikahinya", hukumnya sah. Perbedaan sedikit antara kalimat yang diucapkan wali dan calon suami tidak mempengaruhi keabsahan nikah asal kandungan maksudnya sama. Semisal wali mengatakan انكحتك وزوجتك kemudian calon suami hanya menjawab قبلت نكاحها tanpa تزويجها.   

Di antara yang sering terjadi pada orang yang gugup justru bukan kesalahan kalimat, namun tidak segera menjawab dengan qabul setelah wali mengucapkan ijab. Bila demikian, maka kembali pada syarat-syarat nikah di atas yaitu antara ijab dan qabul tidak terpisah oleh ucapan yang tidak berkaitan dengan akad atau oleh diam yang lama. 

Maksud diam yang mempengaruhi keabsahan akad ini ada dua pendapat sebagaimana dalam kasus shighat jual beli yaitu: 

Diam lama sekira menurut umum menunjukkan berpaling dari qabul. 

Dan diam melebihi kadar mengambil napas.   

Dalam Tuhfatul Habib disebutkan:

ولا سكوت طَوِيلٌ وَهُوَ مَا أَشْعَرَ بِإِعْرَاضِهِ عَنْ الْقَبُولِ قَوْلُهُ: (وَهُوَ مَا أَشْعَرَ بِإِعْرَاضِهِ إلَخْ) الْمُعْتَمَدُ أَنَّهُ بِقَدْرِ مَا يَقْطَعُ الْقِرَاءَةَ فِي الْفَاتِحَةِ وَهُوَ الزَّائِدُ عَلَى سَكْتَةِ التَّنَفُّسِ، أَوْ الْقَصِيرُ إذَا قَصَدَ بِهِ الْإِعْرَاضَ

 Artinya: "Dan (tidak dipisah) diam yang lama, yaitu diam yang menunjukkan berpaling dari qabul. Ucapan penyusun kitab: "Yaitu diam yang menunjukkan berpaling dari qabul", pendapat yang menjadi pegangan (versi Syekh Al-Bujairimi) bahwa diam lama itu yang sekira bisa memutus bacaan Fatihah dalam shalat yaitu melebihi kadar mengambil napas atau diam sebentar namun dengan niat berpaling dari qabul."  (Sulaiman Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib 'ala Syarhil Khatib [Beirut, Darul Fikr: 1995], juz III, halaman 13).   

Ketika suatu akad telah memenuhi syarat dan rukunnya, berarti akad tersebut sah. Sedangkan bila tidak memenuhi, maka belum sah sehingga bisa diulangi lagi agar sah.   

Sampai saat ini belum diketemukan keterangan bahwa orang yang salah berucap dalam akad sebanyak tiga kali harus mengulang di lain hari. Bila akad tersebut sudah sah, tidak perlu diulang lagi agar sah.   

Bila belum sah, maka kapan pun bisa diulang. Mungkin maksud dari sebagian tokoh masyarakat menganjurkan mengulang di lain hari ketika grogi karena kearifan melihat kondisi psikologis orang yang berakad. Biasanya orang yang grogi sulit untuk bisa hilang groginya dengan cepat. Apalagi bila telah diulang-ulang tetap salah terus. Karena itu, perlu suasana dan waktu lain agar akad bisa dilakukan dengan lebih siap dan mantap.   


Ijab Qabul Pernikahan Harus Satu Napas, Benarkah?

Di beberapa daerah di Indonesia kerap dijumpai satu pemahaman di masyarakat bahwa salah satu syarat sahnya ijab qabul adalah apabila diucapkan dalam satu tarikan napas. Maka tak jarang sebagian saksi menyatakan tidak sah dan meminta diulangi akad nikah dengan alasan mempelai laki-laki tidak mengucapkan kalimat kabulnya dalam satu napas. Karenanya tak jarang hal ini menjadikan proses ijab qabul menjadi lebih lama karena harus diulang beberapa kali. 

Muhammad Khathib As-Syarbini di dalam kitab Al-Iqnâ’ menyebutkan ada lima hal yang menjadi rukun nikah. Beliau menuturkan:

فصل فِي أَرْكَان النِّكَاح وَهِي خَمْسَة صِيغَة وَزَوْجَة وَزوج وَولي وهما العاقدان وشاهدان

Artinya: “Fashal dalam menerangkan rukun-rukunnya nikah. Rukun nikah ada lima yakni shighat (kalimat ijab qabul), istri, suami, wali—yang keduanya (suami dan wali) merupakan orang yang berakad—dan dua orang saksi.” (Muhammad Khathib As-Syarbini, Al-Iqnâ’, 1995 [Beirut: Darul Fikr], hal. 411) 

Dari kutipan kitab Al-Iqnâ’ di atas disimpulkan bahwa ada lima hal yang menjadi rukun nikah yang mau tidak mau harus dipenuhi saat proses ijab qabul. Kelima rukun itu adalah shighat ijab qabul, mempelai perempuan, mempelai laki-laki, wali dari mempelai perempuan, dan dua orang saksi. Kelima rukun tersebut sudah barang tentu masing-masing memiliki syarat-syarat tertentu yang juga mesti dipenuhi. Tidak terpenuhinya salah satu syarat pada salah satu rukun menjadikan akad nikah tidak sah. Tentunya pembahasan kali ini tidak akan membahas keseluruhan syarat dari semua rukun nikah. Hanya syarat-syarat sighat ijab qabul saja yang akan menjadi topik pembahasan.

Masih merujuk pada penjelasan As-Syarbini di dalam kitab yang sama beliau menyebutkan beberapa syarat sighat ijab qabul yakni:

1. Tidak adanya penggantungan (ta’lîq) dan pembatasan waktu (ta’qît). Tidak sah sebuah akad nikah di mana di dalam pengucapan ijab qabulnya menyertakan kalimat yang menggantungkan pernikahan tersebut pada suatu kejadian tertentu. Misal ucapan seorang wali “bila anak perempuanku dicerai oleh suaminya dan telah habis masa idahnya maka aku kawinkah engkau dengannya.” Pun tidak sah bila dalam ijab qabul disertai dengan pembatasan waktu tertentu. Seperti wali mengucapkan “aku nikahkan kamu dengan anak perempuanku untuk waktu dua tahun.” Ini merupakan nikah mut’ah.

2. Harus menggunakan kata yang terbentuk dari kata inkâh (nikah) atau tazwîj (kawin). Tidak sah akad nikah bila tidak menggunakan kedua kata tersebut, baik salah satunya atau kedua-duanya.

Itu dua syarat yang disebutkan oleh As-Syarbini di dalam Al-Iqnâ’. Adapun ulama-ulama Syafii’iyah lainnya—seperti Imam Nawawi umpamanya—masih memberikan satu syarat lagi yakni harus bersambung antara kabul yang diucapkan oleh suami dengan ijab yang diucapkan oleh wali. Terpisahnya ijab dan kabul oleh jeda waktu yang lama menjadikan akad nikah tidak sah. Namun jeda waktu yang singkat—seperti untuk mengambil napas—masih bisa diterima dan akad nikah tetap dihukumi sah (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Raudlatut Thâlibîn wa ‘Umdatul Muftîn, 1991 [Beirut: Al-Maktab Al-Islami], juz VII, hal. 39).

Dari penjelasan di atas menjadi jelas bahwa kiranya para ulama tidak mensyaratkan pengucapan ijab dan kabul dalam satu napas. Artinya bila di tengah pengucapan ijab dan atau kabul terhenti untuk mengambil napas lagi maka hal itu tidak merusak akad nikah.

Bisa jadi apa yang dipahami dan diamalkan di beberapa daerah perihal keharusan satu napas itu merupakan langkah kehati-hatian yang diambil agar akad nikah yang dilaksanakan benar-benar bisa dipastikan keabsahannya. Ini bisa dimengerti mengingat akad nikah merupakan kunci utama menuju kehidupan rumah tangga yang benar-benar diridhai oleh Allah. Dari akad nikah inilah segala konsekuensi hukum akan terjadi. Sah dan tidaknya sebuah akad nikah akan berkonsekuensi pada sah dan tidaknya hubungan suami istri, status nasab anak keturunan yang dilahirkan, hingga soal hak memperoleh warisan.


‘Kifayatul Mu’in’ khususnya bab nikah. matan kitab pada halaman 21 Juz 2, ‘anna mahra laisa ruknan fi nikahi’ artinya sesungguhnya mahar tidak termasuk dalam rukun nikah. “Walau mahar bukan rukun nikah tetapi tidak boleh melakukan nikah tanpa mahar, nikah tidak boleh gratis, kalau utang boleh,”  Para ulama telah sepakat bahwa mahar hukumnya wajib bagi seorang laki-laki yang hendak menikah, Pernikahan tidak sah tanpa adanya mahar meskipun pihak wanita telah ridha untuk tidak mendapatkan mahar, jadi mahar tetap harus ada walaupun tidak dibayar tunai.


BERAPAKAH MAHAR YANG LAYAK UNTUK MEMINANG SEORANG WANITA?

Definisi Mahar dan Hukumnya dalam Agama Islam

Secara bahasa, mahar adalah sesuatu yang menjadi wajib karena adanya pernikahan. Adapun secara syar’i, mahar adalah sesuatu yang menjadi wajib, baik berupa harta maupun manfaat, dikarenakan adanya akad pernikahan ataupun jima’/ senggama (yaitu ketika terdapat syubhat dalam akad, namun sudah terlanjur dukhul/ senggama, ataupun terdapat syubhat tafwidh, ataupun akadnya rusak, baik itu dukhul melalui kemaluan depan ataupun dubur).

Adapum hukumnya adalah mahar merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh mempelai pria ketika hendak meminang seorang wanita. Mahar adalah tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 4)

Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kaum laki-laki untuk memberikan mahar kepada wanita yang hendak dinikahi. Dan hal tersebut menunjukkan bahwa mahar merupakan syarat sah pernikahan yang wajib dipenuhi oleh mempelai pria. Pernikahan tanpa mahar berarti pernikahan tersebut tidak sah, meskipun pihak wanita telah rida untuk tidak mendapatkan mahar.

Syekh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam kitabnya Manhajus Salikiin menjelaskan, “Jika mahar tidak disebutkan dalam akad nikah, maka pihak wanita berhak mendapatkan mahar yang sesuai dengan wanita semisal dirinya.”

Batasan Mahar

Disebutkan di dalam matan Al-Yaquut An-Nafis, “…yaitu adalah apa saja yang dibolehkan untuk dijadikan sebagai barang dagangan, ataupun memiliki nilai tukar. Maka, semua itu sah dijadikan mahar. Dan apa yang tidak bisa menjadi alat tukar, maka tidak bisa dijadikan mahar.”

Sehingga, kita bisa simpulkan bahwa mahar bisa berupa:

Pertama, harta (materi) dengan berbagai macam bentuknya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَٱلۡمُحۡصَنَـٰتُ مِنَ ٱلنِّسَاۤءِ إِلَّا مَا مَلَكَتۡ أَیۡمَـٰنُكُمۡۖ كِتَـٰبَ ٱللَّهِ عَلَیۡكُمۡۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاۤءَ ذَ ٰلِكُمۡ أَن تَبۡتَغُوا۟ بِأَمۡوَ ٰلِكُم مُّحۡصِنِینَ غَیۡرَ مُسَـٰفِحِینَۚ فَمَا ٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهِۦ مِنۡهُنَّ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِیضَةࣰۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَیۡكُمۡ فِیمَا تَرَ ٰضَیۡتُم بِهِۦ مِنۢ بَعۡدِ ٱلۡفَرِیضَةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِیمًا حَكِیمࣰا

“Dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka, isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban. Dan tiadalah mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS. An-Nisa’: 24)

Kedua, sesuatu yang dapat diambil upahnya ( jasa).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

قَالَ اِنِّيْٓ اُرِيْدُ اَنْ اُنْكِحَكَ اِحْدَى ابْنَتَيَّ هٰتَيْنِ عَلٰٓى اَنْ تَأْجُرَنِيْ ثَمٰنِيَ حِجَجٍۚ فَاِنْ اَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَۚ وَمَآ اُرِيْدُ اَنْ اَشُقَّ عَلَيْكَۗ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ

“Berkatalah dia (Syu’aib), ‘Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun. Dan jika kamu genapkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu. Maka aku tidak hendak memberatkanmu. Dan kamu insyaallah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (QS. Al-Qashash: 27)

Ketiga, manfaat yang akan kembali kepada sang wanita, seperti:

Kemerdekaan dari perbudakan. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أعتق صفية وجعل عتقها صداقها

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerdekakan Shafiyah binti Huyayin (kemudian menikahinya) dan menjadikan kemerdekaannya sebagai mahar.” (HR. Bukhari no. 4696)

Keislaman seseorang. Hal ini sebagaimana kisah Abu Thalhah yang menikahi Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anhuma dengan mahar keislaman Abu Thalhah. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bekata,

تزوَّج أبو طلحةَ ، أمَّ سُلَيمٍ ، فكان صَداقُ ما بينهما : الإسلامَ ، أسلمتْ أمُّ سُلَيمٍ ، قبل أبي طلحةَ فخطَبها ، فقالت : إنِّي قد أسلمتُ ، فإن أسلمتَ نكحتُك ، فأسلم ، فكان صَداقَ ما بينهما

 “Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim. Maharnya keislaman Abu Thalhah. Ummu Sulaim telah masuk Islam sebelum Abu Thalhah, kemudian Abu Thalhah melamarnya. Ummu Sulaim mengatakan, ’Saya telah masuk Islam. Jika kamu masuk Islam, aku akan menikah denganmu.’ Maka Abu Thalhah masuk Islam dan menikah dengan Ummu Sulaim dan keislamannya menjadi maharnya.” (HR. An-Nasa’i no. 3288)

Hafalan Al-Qur’an yang akan diajarkannya. Hal ini sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menikahkan salah seorang sahabat dengan beberapa surah Al-Qur’an dari hafalannya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Mahar Hanya dengan Seperangkat Alat Salat, Bolehkah?

Seorang wanita bebas menentukan bentuk dan jumlah mahar yang diinginkannya karena tidak ada batasan mahar dalam syariat Islam. Namun, Islam menganjurkan agar meringankan mahar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

خَيْرُ الصَّدَاقِ أيْسَرَهُ

“Sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah (ringan).” (HR. Al-Hakim. Beliau mengatakan, “Hadis ini sahih berdasarkan syarat Bukhari Muslim.”)

Dan di dalam fikih mazhab Syafi’i pun tidak ada batasan minimal untuk mahar. Sehingga, tidak mengapa bila mahar hanya berupa seperangkat alat salat dengan syarat calon mempelai wanita dan walinya meridai hal tersebut. Dan tentu saja hal ini menjadi kebaikan tersendiri serta tabungan pahala untuk mempelai wanita dan keluarganya.

Hikmah di balik anjuran untuk meringankan mahar adalah mempermudah proses pernikahan. Berapa banyak laki-laki yang mundur dan tidak jadi menikahi seorang wanita hanya karena adanya permintaan mahar yang tinggi?! Tentu hal ini akan mendatangkan madharat dan kerusakan yang lebih besar. Menghadapi hal semacam ini, hendaknya pihak wanita bersikap bijak. Tidak masalah jika pihak laki-laki memiliki kemampuan untuk membayar mahar tersebut. Namun, jika ternyata yang datang adalah laki-laki sederhana yang memiliki kemampuan materi yang biasa-biasa saja, maka tidaklah layak menolaknya hanya karena ketidakmampuannya membayar mahar. Terutama jika yang datang adalah laki-laki yang sudah tidak diragukan lagi kesalehannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan menyebutkan bahwa pernikahan terbaik adalah yang sederhana dan mudah. Termasuk di dalamnya memudahkan mahar yang akan diberikan oleh pihak laki-laki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

خَيْرُ النِّكَاحِ أَيْسَرُهُ

“Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan Ath-Thabrani. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Shahihul Jaami’.)

Hukum Mengakhirkan Mahar Setelah Akad

Diperbolehkan bagi seseorang untuk mendahulukan pembayaran mahar ataupun mengakhirkannya secara keseluruhan, atau mendahulukan pembayaran sebagian mahar dan mengakhirkan sebagian lainnya.

Apabila sang suami telah menggauli istri, sedangkan ia belum membayar mahar, maka hal itu sah-sah saja. Akan tetapi, ia wajib membayar mahar mitsil (mahar senilai yang biasa diberikan kepada wanita kerabat wanita itu) apabila dalam akad nikah ia tidak menyebutkan maskawin apa yang akan ia berikan. Namun, jika ia telah menyebutnya, maka ia harus membayar maskawin sebesar apa yang telah ia sebutkan.

Dan berhati-hatilah, jangan sampai seseorang tidak memenuhi hak wanita yang telah disyaratkan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

أَحَقُّ مَا أَوْفَيْتُمْ مِنَ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوفُواْ بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الفُرُوْجَ

“Sesungguhnya suatu syarat yang paling berhak untuk kalian penuhi adalah syarat yang dengannya dihalalkan bagi kalian kemaluan (wanita).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Apabila sang suami meninggal setelah akad dan belum menggauli, maka istri berhak mendapatkan mahar seluruhnya. Dari ‘Alqamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Telah didatangkan kepada ‘Abdullah bin Mas’ud seorang wanita yang telah dinikahi oleh seorang lelaki, kemudian lelaki tersebut meninggal. Ia belum menentukan maskawin dan menggaulinya. ‘Alqamah berkata, ‘Mereka berselisih tentang hal tersebut dan menanyakannya kepada ‘Abdullah bin Mas’ud, kemudian ia menjawab, ‘Aku berpendapat ia berhak mendapat maskawin semisal mahar yang didapat oleh wanita kerabatnya, ia berhak mendapatkan harta warisan dan ia juga wajib ber‘iddah.’ Kemudian Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i bersaksi bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menetapkan kepada Barwa’ binti Wasyiq seperti apa yang telah ditetapkan oleh ‘Abdullah bin Mas’ud.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Nasa’i)


 

***

0 Komentar